Judul : Model Kepemimpinan dalam Amal Islami, Studi Tokoh Pergerakan Islam Kontemporer
Penulis : Musthafa Muhammad Thahhan
Penerbit: Robbani Pers, 1997
Sebuah buku penting membahas topik yang jarang diungkap. Biasanya penulis lain akan menguraikan biografi dan perjalanan pemikiran sang tokoh, lalu menempatkan posisi sang tokoh di antara para pemikir lainnya. Berbeda dengan penulis buku ini yang menjelaskan sepak terjang para tokoh serta dampak perjuangannya terhadap masyarakat.
Ini adalah terjemahan dari karya asli berjudul, “Al-Qiyaadah fi al-Amal al-Islami”. Versi terjemahan merupakan jilid kedua dari seri aslinya. Pada jilid pertama penulis mengupas sepak juang Hassan al-Banna, dan belum sempat diterjemahkan. Sedangkan, pada jilid kedua dibeberkan rahasia hidup
Kelima tokoh itu berasal dari wilayah berbeda dan menjalankan peran beragam: as-Siba’i berasal dari Suriah yang berposisi sebagai ulama dan politisi, al-Qassam adalah komandan perang Palestina yang melawan penjajah Inggris dan Zionis, Bin Badis berasal dari Aljazair yang berperan sebagai ulama dan pendidik, al-Maududi berasal dari Pakistan yang dikenal sebagai pemikir dan pemimpin organisasi, sementara Sa’id an-Nursi adalah pemimpin kelompok sufi dari Turki.
Tokoh pertama as-Siba’i menjabat wakil ketua Majelis Perwakilan Suriah dan anggota komisi pembentukan konstitusi, saat negeri itu dijajah Perancis. Ia dikenal juga sebagai jurnalis dan penerbit, mulai dari majalah Al-Manar (1947), koran As-Syihab (1950), dan majalah Hadharat al-Islam. Ia biasa menulis naskah di atas kendaraan dalam perjalanan dari rumahnya di pinggiran
Tatkala menjadi dosen, Siba’i menerapkan metoda baru, forum diskusi pekanan yang dikenal sebagai Qa’ah al-Bahts (forum kajian). Dia berperan sebagai moderator dan fasilitator, sementara mahasiswa menyampaikan presentasi dan saling mengkritik satu sama lain. Pada era tahun 1950-an di Timur Tengah, hal itu merupakan metoda ganjil yang dipandang dapat meruntuhkan wibawa sang dosen.
Ijtihadnya diakui lintas negara sebagai penulis prolifik dengan aneka tema: mulai dari buku As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri al-Islami (As-Sunnah dan kedudukannya dalam perundang-undangan Islam), al-Istirakiyah al-Islam (Sosialismes Islam), al-Mar’ah baina al-Fiqh wa al-Qanun (Kedudukan perempuan dalam fiqh Islam dan perundang-undangan umum), Akhlaquna al-Ijtima’iyah (Moralitas Sosial Kita), Hakadza Allamatni al-Hayat (Beginilah Kehidupan Mengajari Aku, terdiri dari dua jilid tentang falsafah sosial dan politik), dan 22 judul buku lainnya. Pada saat meninggal, dia masih mewarisi 17 manuskrip.
Nama Izzuddin al-Qassam lebih dikenal sebagai brigade pemberani yang mengangkat pamor gerakan Hamas di Palestina. Jarang orang mengetahui pemimpin kelahiran Suriah pada 1871 itu adalah pelopor pemberontakan petani Palestina di tahun 1936, yang dikenal sebagai Revolusi Buraq. Revolusi itu dipersiapkan sejak tahun 1925. Pada masa awal perjuangan untuk membangun organisasi yang solid, ia menjalankan peran yang tampak remeh. Ia pernah menjadi guru mengaji di Masjid an-Nashr di
Dengan beragam posisi itu ia mengenal berbagai individu dan kelompok, serta mengetahui orientasi perjuangan mereka. Sehingga, dengan mudah ia menyeleksi siapa saja yang patut diundang ke rumah untuk diajak berdiskusi tentang pembebasan Tanah Air dari cengkeraman penjajah. Pemimpin pergerakan saat itu bersifat kolektif, disamping Al-Qassam ada empat orang tokoh lain: Abdul Qasim, Mahmud Za’rurah, Mahmud Shalih, dan Abu Ibrahim al-Kabir.
Dalam bahasa penulis, “Al Qassam hidup di rumah sederhana. Duduk, tidur dan bangun di tengah-tengah saudara dan putra-putranya, bersama para pejuang. Bergaul dan membaur bersama mereka, melayani kebutuhan mereka. Ketika datang saat berperang, ia pun maju ke
Tokoh ketiga, Bin Badis bisa disebut bapak perjuangan Aljazair. Musuh Aljazair, saat itu dijajah Perancis, bukan hanya bersifat militer dan politik, tapi terutama: kemiskinan, kebodohan dan pemurtadan. Budaya penjajah yang merasuk ke berbagai kalangan masyarakat dinilai lebih berbahaya ketimbang imperialisme fisik. Bin Badis mendirikan Jam’iyah Ulama al-Muslimin Aljazairiyah (Perhimpunan Ulama Muslim di Aljazair) pada 1953. Inspirasi gerakan itu dari Jamaluddin al-Afhgani dan Muhammad Rasyid Ridha yang menerbitkan majalah Al-Urwat al-Wutswa dan al-Manar. Ia lahir di Constantine, 5 Desember 1889 dari seorang ayah, Musthafa bin Makki bin Badis yang hafidz al Qur’an dan anggota Majelis Tinggi di kotanya. Ibunya, Zuhairah binti Ali bin Jalul dari keluarga berilmu dan terhormat. Nenek moyangnya, Bulkin bin Zumairi bin Manna dari suku Shanhajah Amazig (Barbar) adalah Gubernur wilayah Afrika dan Maghribi Tengah pada masa Khilafah Fathimiyah (Al Mu’iz li Dinilah, 362-373).
Rencana pendidikan umat dan pembebasan negeri Aljazair disiapkan Bin Badis di Madinah bersama kawan seperjuangannya, Basyir al-Ibrahimi. Selama tiga bulan mereka berdiskusi di Masjid Nabawi mempertimbangkan segala perkara yang diperlukan bagi perbaikan umat. Dari situ lahir ide pembentukan Jam’iyah Ulama Muslimin Aljazair. Dalam perjalanan pulang, Bin Badis mampir dan berdialog dengan para ulama di berbagai negeri:
Maududi, pendiri Jamiat Islami di anak benua
Ia merantau ke
Said Nursi dilahirkan di desa kecil Herzan pada 1873 dari keluarga suku Kurdi. Pada usia 9 tahun menuntut ilmu, berpindah-pindah dari suatu madrasah ke madrasah lain. Pada usia 18 tahun telah menguasasi Ulumul Qur’an, Ushul Fiqh, bahasa dan logika. Oleh karena itu dijuluki “Sait Mesur”, tokoh yang terkenal karena kealimannya. Dikenal sebagai seorang yang zuhud dengan semboyan “Tinggalkan yang meragukan menuju perkara yang tidak meragukan”. Akan tetapi, prinsip itu tak menghalangi belajar memanah dan gulat, ia juga sempat masuk dinas militer pada saat Perang Dunia I.
Kondisi Turki amat buruk, tahun 1908, Sultan Abdul Hamid II disingkirkan. Organisasi Ittihad ve Terekki Cemiyeti (Perhimpunan untuk Persatuan dan Kemajuan) dipimpin Musthafa Kemal membawa misi sekulerisme dengan dukungan organisasi rahasia Freemasonry. Said Nursi melawan praktek sekulerisme, hingga ditahan dan divonis dalam pengadilan zalim. Meski diasingkan, ia menerbitkan Risalah Nursiyah, yang diedarkan dan diperbanyak muridnya yang tergabung dalam Jamaah Nur.
Itulah pola kepemimpinan yang pernah tampil dalam pergerakan Islam. Tugas generasi sekarang untuk mempelajari dan menimba hikmah bagi masa depan pergerakan yang lebih mantap. [spt]
Label: Resensi Buku