“Different times produce different minds”
“Zaman yang berbeda menghasilkan pemikiran yang berbeda”, demikian kutipan buku kedua Taufik Bahaudin yang membahas topik kepemimpinan dengan pendekatan mutakhir dan multidimensi, namun sangat
Berangkat dari premis dasar bahwa krisis yang dialami setiap organisasi, termasuk suatu bangsa atau negara, berakar pada krisis kepemimpinan, Taufik mengawali bukunya dengan mengurai tantangan lingkungan eksternal dalam milenium ketiga sebagai the century of brain and the millennium of mind. Hal tersebut dipaparkan sebagai justifikasi atas konsep “brainware leadership mastery” yang diusungnya. Taufik juga mengemukakan beberapa model pembabakan era persaingan untuk memetakan posisi kita saat ini berikut konsekuensinya, khususnya berupa tantangan terhadap kecerdasan kita, yang tidak dapat lagi diantisipasi sekedar dengan kecerdasan rasional (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ), namun menuntut peran kunci kecerdasan spiritual (SQ) sebagai induk segala kecerdasan yang memiliki transformative power.
Yang juga sangat menarik adalah uraian Taufik mengenai mentalitas “kerusakan bukan pada pesawat TV saya”, di samping ketidakmauan/ketidakmampuan berpikir serba sistem (systems thinking) dalam melihat tantangan yang ada, yang menyebabkan kita begitu terpuruk dalam meniti gelombang turbulensi.
Belajar dan berubah adalah satu-satunya cara untuk tidak tergilas oleh turbulensi. ”If you don’t change, you die,” begitulah kata C.K. Prahalad. Sebagai pakar mindsetting, Taufik melihat proses itu sebagai proses membangun ’piranti lunak’ (neural path-way) baru yang dibutuhkan di otak dan pikiran (proses learning), sekaligus menghapus neural path-way lama yang bertentangan (proses unlearning). Proses tersebut diawali dengan membangun mental pembelajaran (learning mental) – self-awareness, self-acceptance, self-improvement – dan kemudian diikuti dengan membangun perilaku pembelajaran (learning behavior) – observe, assess, design, implement — dengan mendayagunakan daya transformatif yang dimiliki oleh kecerdasan spiritual (SQ) sebagai mesin penggeraknya.
Selain turbulensi eksternal, ternyata manusia juga menghadapi turbulensi internal yang tak kalah dahsyat dalam dirinya. Taufik membedah hal ini dengan kerangka konsep Spiral Dynamics. Kita diajak memahami bahwa perilaku manusia dalam merespon stimulus eksternal merupakan refleksi keyakinannya mengenai makna stimulus tersebut yang tergambar dalam pola pikir (mind-set)-nya. Sumber terdalam dari mind-set adalah ‘DNA’ Psikologis-Sosial atau Jenjang Eksistensi Psikologis (Level of Psychological Existences), yang menentukan warna pikiran (colors of thinking) orang/kelompok orang yang bersangkutan.
Riset empat puluh tahun Clare W.
Pencerahan dan perspektif baru dalam memahami realitas kekinian bangsa ini kita peroleh dari penggunaan konsep ‘DNA’ Psikologis Sosial sebagai pisau analisis atas berbagai kasus kontemporer Indonesia, seperti kerusuhan Maluku, kasus Poso, dan sepak terjang sejumlah LSM lokal yang tidak bisa dilepaskan dari skenario global. Bahkan, Taufik mengungkapkan secara terbuka nama sejumlah LSM yang ditengarai telah menjadi ‘perpanjangan tangan’ kepentingan asing tersebut.
Berhadapan dengan realitas yang turbulen tersebut, Taufik melihat milenium ketiga sebagai eranya para superleader, yaitu pemimpin yang mampu mengembangkan pengikutnya menjadi pemimpin juga dengan ‘modal’ rasa percaya dan hormat (trust and respect) dari orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin dilihat sebagai sosok yang berperan menginisiasi perubahan melalui inovasi, berfokus pada manusia (pengikutnya) dengan membangun komitmen mereka, mengoptimalkan pemanfaatan tacit knowledge dan street smartness, serta membangun kerjasama tim yang tangguh. Untuk menjalankan peran strategis tersebut, kualitas modal spiritual, jenjang ‘DNA’ Psikologis-Sosial yang tinggi, serta brain strengths yang sesuai, merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh pemimpin.
Kualitas modal spiritual dan jenjang ‘DNA’ Psikologis-Sosial sangat menentukan kualitas kepemimpinan di era global yang merupakan era krisis makna, dengan kapitalisme sebagai ‘jantung’-nya. Era ini menuntut pemimpin yang perilakunya bersumber pada motivasi Kebutuhan Tingkat Tinggi (Higher Needs) dalam Skala Motivasi
Konteks keindonesiaan buku ini mendapat ruang yang kian luas dalam ulasan tentang berbagai falsafah luhur Nusantara mengenai pemimpin dan kepemimpinan yang “tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas”. Selain model Perilaku Pembelajaran dalam bentuk siklus observe, assess, design, implement (OADI) dari Peter Senge, Taufik juga mengangkat model proses pembelajaran siklus 3N yang terdiri dari niteni, niruake dan nambahi. Pada saat berbicara tentang guiding principles bagi perilaku pemimpin, Taufik mengangkat 4 prinsip kepemimpinan Wali Songo, yang terdiri dari surti (mengawali segala sesuatu dengan niat baik), titi (menganalisis segala sesuatunya dengan mendalam), nastiti (kompeten dan paham benar apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya), serta gumanti (dorongan untuk membimbing).
Disamping itu, diungkap pula berbagai konsep kepemimpinan asli Indonesia yang sarat dengan falsafah luhur yang mungkin sebagian sudah terlupakan, seperti Tiga Peran Pemimpin dan Sepuluh Sifat Pemimpin yang Efektif dalam Kepemimpinan Sultan Banten, falsafah Wahyu Makuto Romo yang bersumber dari pewayangan, serta konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro yang sudah lama kita kenal (ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, tutwuri handayani).
Berangkat dari keluasan pengalaman empiriknya, Taufik juga membahas secara rinci, runtut, dan praktis bagaimana proses membangun Brainware Leadership Mastery dilakukan, diawali dengan membangun Brainware Self-Mastery, sebagai prasyarat mutlaknya. Seseorang tidak mungkin menjadi pemimpin yang efektif dan berkualitas bagi orang lain sebelum ia mampu menjadi pemimpin yang efektif dan berkualitas bagi dirinya sendiri, yang ukurannya adalah kualitas self-mastery atau self-leadership. Self-mastery yang dibangun dengan dasar modal spiritual (antara lain keyakinan atau beliefs yang kuat) dan jenjang ‘DNA’ Psikologis-Sosial yang tinggi akan membuat seseorang memiliki kemampuan menjalin hubungan baik dengan dirinya sendiri (intrapersonal skills), sehingga dia tidak terjebak menjadi rendah diri atau sebaliknya, arogan.
Selanjutnya, self-mastery akan menjadi modal bagi dirinya untuk mampu membangun trust and respect dari orang lain, sehingga ia mampu membangun persepsi yang sama (shared-meaning) dan nilai-nilai bersama (shared-values), serta menggerakkan para pengikutnya ke arah visi bersama (shared-vision). Secara mendalam Taufik mengungkapkan kekuatan yang luar biasa dari keyakinan sebagai bagian dari modal spiritual, dilengkapi dengan pengalaman beberapa eksekutif negeri ini, di samping model terapan Segitiga Modal Spiritual yang menggambarkan bagaimana keyakinan yang sudah berada pada jenjang conviction akan membuat seorang pemimpin mampu tegar dalam goncangan turbulensi dengan senjata keikhlasan, yang ditopang oleh prasangka baik terhadap Allah Yang Mahaesa, senantiasa bersabar, serta tetap bersyukur.
Masih langka rasanya buku karya anak bangsa yang mengulas kepemimpinan dari sisinya yang paling lunak dan esensial dengan konsep dan pendekatan baru, mengedepankan kepraktisan cara berpikir eksekutif dan praktisi tanpa mengabaikan kedalaman kajian serta keluasan wawasan. Di sinilah letak kekuatan buku ini, di samping nuansa keindonesiaannya yang kental, yang membuat buku ini mampu berkontribusi secara signifikan bagi pencerahan bangsa. Deretan keunggulan tersebut membuat kepadatan berlebih di beberapa bagian dan sejumlah salah cetak yang luput dalam penyuntingan menjadi termaafkan. [Arief M.]
BRAINWARE LEADERSHIP MASTERY
Kepemimpinan Abad Otak dan Milenium Pikiran
Penulis : Taufik Bahaudin
Tebal : + 354 halaman
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Label: Resensi Buku