Judul Buku : Mengembangkan Kepemimpinan di Sekeliling Anda
Penulis : John C. Maxwell
Penerbit : Professional Books
Tahun :1997 (terjemahan)
Buku ini memang sudah lama terbit, tapi tergolong buku laris, dan sejumlah pandangan penulis masih relevan dengan perkembangan zaman. Pada bagian awal, penulis membuka dengan pertanyaan kunci: “Apakah saya (sebagai pemimpin) mengembangkan calon pemimpin (di sekitar saya)?” Seorang pemimpin yang baik akan menumbuhkan kepemimpinan di sekelilingnya. Ia tidak merasa bersaing dengan anak buahnya, apalagi terancam posisinya, malah justru berbagi ilmu dan pengalaman agar anak buah atau pengikutnya dapat lebih maju dan berkembang.
Seperti Socrates yang mendidik Plato, dan Aristoteles yang berguru kepada Plato; begitu proses pewarisan tradisi filsafat Yunani. Demikian pula dalam tradisi keilmuan Islam dikenal kisah Imam Ja’far al-Shadiq yang menjadi guru dari banyak ilmuwan multidisiplin, antar lain: Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri (ahli fiqih), Jabir bin Hayyan (ahli kimia), Malik bin Anas dan Yahya bin Sa’id (ahli hadits). Dalam sejarah militer Indonesia juga dikenang kharisma Jenderal Sudirman yang telah mendidik para jenderal penerusnya, semisal Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Soeharto.
Penulis kemudian menguraikan setiap dengan rumus sederhana tapi jitu: tantangan paling keras yang akan dihadapi setiap pemimpin (ialah menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya kepemimpinan baru); tanggung-jawab utama seorang pemimpin (mengidentifikasi calon pemimpin); tugas terpenting sang pemimpin (memelihara dan membina calon pemimpin); persyaratan harian seorang pemimpin (memperlengkapi dan membekali calon pemimpin dengan berbagai keahlian dan kearifan); komitmen seumur hidup seorang pemimpin (mengembangkan calon pemimpin hingga mencapai kapasitas optimal); hasil tertinggi seorang pemimpin (membentuk tim impian [the dream team, bukan dreaming team]); sukacita terbesar seorang pemimpin (melatih tim impian hingga sukses); jam terbaik seorang pemimpin (menyadari nilai yang disemaikan untuk dan dari pemimpin); dan sumbangan abadi seorang pemimpin (mereproduksi generasi kepemimpinan masa depan).
Maxwell adalah seorang pendeta yang bertugas di Gereja Skyline Wesleyan di San Diego, California. Pada tahun 1981, ketika pertama kali bertugas di sana, ia menyadari bahwa jumlah jemaatnya hanya berkisar 1000 orang. Hal itu terlihat dari catatan kebaktian sejak 1969 hingga 1981. Di hadapan para pembantu gerejanya, Maxwell kemudian membuat target baru yang disebut “Garis Kepemimpinan”, dimana ia mencanangkan peningkatan jumlah jemaat hingga mencapai angka 2000 orang. Perbedaan jumlah antara 1000 dan 2000 jemaat itu kemudian disebutnya sebagai “Perubahan” (change) yang harus diupayakan semua elemen dalam gereja.
Ternyata dalam waktu yang tak terlalu lama, target itu bisa tercapai berkat kerja keras semua pihak dalam gereja. Target pun dinaikkan menjadi 4000 jemaat, dan bertumbuh terus setiap tahun. Maxwell semula memberikan ceramah selama tiga kali dalam sehari, tapi kemudian memfokuskan diri untuk melatih para pendeta baru dan berusia muda, sehingga akhirnya mereka menjalankan peran tersendiri untuk membimbing jemaat yang berbeda latar belakangnya. Dari pengalaman ruhani itu, ia mengembangkan kurikulum kepemimpinan untuk kelas bisnis dan politik. Hasilnya sangat menakjubkan, ia mendapat pujian dari para pemimpin perusahaan besar, politisi kenamaan, dan pemimpin organisasi kemasyarakatan yang mendapat sentuhan baru dalam mengembangkan kapasitas pribadi dan organisasi masing-masing.
Kita patut belajar dari pengalaman Maxwell, meskipun prinsip dan konteks pengembangan kepemimpinan di Indonesia bisa jauh berbeda. Penulis menyajikan contoh praktis bahwa nilai kepemimpinan bisa diterapkan berbagai kalangan, mulai dari seorang pelatih bola basket John Wooden, pakar manajemen Peter F. Drucker, hingga politisi kenamaan John F. Kennedy. Salah satu pandangan Presiden Kennedy yang masyhur, termaktub dalam bukunya, “Profiles in Courage”, adalah: “Cara yang paling baik untuk melangkah ke depan ialah jalan terus bersama orang lain”.
Bagi Maxwell, itulah jenis interaksi positif yang muncul, apabila seorang pemimpin punya sikap saling tergantung (interdependensi) dan saling mendukung (suportif) serta berkomitmen kepada hubungan “menang-menang” (win-win relations). Tak berlaku prinsip menang-kalah dalam hubungan pemimpin-pengikut, sebab seorang pemimpin tak akan memandang anak buahnya sebagai musuh dalam selimut. Perbedaan pendapat yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program akan dipandang sebagai kesempatan untuk melihat persoalan dan mencari solusi dari pelbagai aspek yang beragam.
Hal itu justru memperlihatkan keunggulan organisasi yang didukung oleh banyak orang berkompetensi tinggi. Seorang pemimpin akan merasa sangat gembira, apabila pengikutnya dalam menyelesaikan segala tugasnya dengan sempurna. Bahkan, kegembiraannya mencapai puncak, bila sang pengikut dapat meringankan beban kepemimpinan yang mungkin secara formal bukan menjadi tugas utama mereka. Di situ terbukti spirit kepemimpinan akan menular sebagai virus kebaikan yang membangkitkan potensi di seluruh lapisan lembaga.
Dalam bab terakhir buku ini, penulis sekali lagi mengutip ucapan John Kennedy dalam pidato televisi di tahun 1969, yang menegaskan: “Sudah tiba waktunya untuk suatu generasi baru memimpin bangsa ini”. Pidato yang sangat bertenaga, karena setelah itu Kennedy menjadi orang nomor satu di Gedung Putih yang berkuasa dalam usia muda. Walaupun masa kepemimpinannya tidak terlalu lama, namun pengaruh Kennedy abadi dalam sejarah. Salah satu kalimat sakti yang dikumandangkan Kennedy dan selanjutnya dikutip oleh manusia selama beberapa dekade ialah: “Jangan bertanya apa yang bisa negeri ini berikan kepada kita, tapi tanyalah apa yang bisa kita berikan untuk negeri ini”.
Pernyataan singkat itu mengkristalkan komitmen puncak Kennedy, dan para pemimpin yang berkarakter sepanjang sejarah, bahwa hidup mereka memang diabdikan demi kepentingan bangsanya. Mereka tak pernah membayangkan akan hidup mewah dan bergelimang popularitas. Kharisma yang mereka dulang adalah konsekuensi logis dari pengorbanan dan kontribusi yang tak kenal putus. Seorang pemimpin yang hanya mencari popularitas atau tenggelam dalam fasilitas publik yang diperolehnya adalah pemimpin semu. Mereka mungkin menduduki posisi pormal yang tinggi atau memiliki jumlah pengikut yang sangat besar, tapi mereka telah kehilangan hakikat kepemimpinan yang sejati. Tatkala jabatan formal itu berganti atau pengikutnya beralih afiliasi, maka sang pemimpin semu akan menghadapi kenyataan pahit, bahwa pengaruh kepemimpinannya hanya sebatas permukaan. Tak ada seorang pun yang akan mengenang jasanya, malah mungkin menjadi bahan tertawaan sepanjang sejarah.